Jumat, 17 Desember 2010

TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN

Tanggung jawab sosial perusahaan sangat erat kaitannya dengan pertanyaan-pertanyaan berikut:
• Apakah memang perusahaan punya tanggung jawab moral dan sosial ?
• Kalau ada, manakah lingkup tanggung jawab itu ?
• Apakah, terkait dengan tanggung jawab sosial perusahaan itu, perusahaan perlu terlibat dalam kegiatan sosial yang berguna bagi masyarakat atau tidak ?
• Bagaimana tanggung jawab sosial perusahaan itu dapat dioperasionalkan dalam suatu perusahaan ?

1. Syarat bagi Tanggung Jawab Moral

• Tindakan itu dijalankan oleh pribadi yang rasional. Pribadi yang kemampuan akal budinya sudah matang dan dapat berfungsi secara normal.
• Bebas dari tekanan, ancaman, paksaan atau apapun namanya.
• Orang yang melakukan tindakan tertentu memang mau melakukan tindakan itu. Situasi ini terutama terjadi ketika seseorang dihadapkan hanya pada satu pilihan. Terlihat seakan-akan dia hanya bisa memilih alternative itu. Dalam keadaan seperti itu, tampak seolah-olah orang ini memang terpaksa. Karena itu, tidak relevan untuk menuntut pertanggungjawaban dari orang ini.

2. Status Perusahaan
Terdapat dua pandangan (Richard T. De George, Business Ethics, hlm.153), yaitu:
Legal-creator, perusahaan sepenuhnya ciptaan hukum, karena itu ada hanya berdasarkan hukum. Menurut pandangan ini, perusahaan diciptakan oleh negara dan tidak mungkin ada tanpa negara. Perusahaan diciptakan oleh masyarakat demi kepentingan masyarakat. Maka, apabila perusahaan tidak lagi berguna bagi masyarakat, masyarakat bisa saja mengubah atau meniadakannya.
Legal-recognition, suatu usaha bebas dan produktif. Perusahaan tidak dibentuk oleh negara. Negara hanya mendaftarkan, mengakui, dan mengesahkan perusahaan itu berdasarkan hukum tertentu.
Tanggung jawab sosial perusahaan hanya dinilai dan diukur berdasarkan sejauh mana perusahaan itu berhasil mendatangkan keuntungan sebesar-besarnya (Milton Friedman,The Social Responsibilities of Business to Increase Its Profits, New York Times Magazine,13-09-1970).

Ini hanyalah bentuk tanggung jawab legal
• Anggapan bahwa perusahaan tidak punya tanggung jawab moral sama saja dengan mengatakan bahwa kegiatan perusahaan bukanlah kegiatan yang dijalankan oleh manusia.
• Tanggung jawab moral perusahaan dijalankan oleh staf manajemen.
• Tanggung jawab legal tidak dapat dipisahkan dari tanggung jawab moral.
Sesungguhnya, pada tingkat operasional bukan hanya staf manajemen yang memikul tanggung jawab sosial dan moral perusahaan ini, melainkan seluruh karyawan.

3. Lingkup Tanggung Jawab Sosial
• Keterlibatan perusahaan dalam kegiatan sosial yang berguna bagi kepentingan masyarakat luas. Tanggung jawab sosial dan moral perusahaan terutama terwujud dalam bentuk ikut melakukan kegiatan tertentu yang berguna bagi masyarakat. Contohnya menyumbangkan dana untuk membangun rumah ibadah, membangun prasarana dan fasilitas sosial dalam masyarakat, melakukan penghijauan, menjaga sungai dari pencemaran, member beasiswa kepada anak dari keluarga yang kurang mampu ekonominya, dan lain sebagainya.
• Keuntungan ekonomis. Contohnya seperti menjalin kerja sama kemitraan antara pengusaha besar dan kecil, dengan membina koperasi di lingkungan tersebut, dengan menyerap produksi perusahaan-perusahaan kecil yang dimiliki masyarakat kecil,sehingga pada akhirnya ikut menciptakan kondisi sosial dan ekonomi yang lebih adil, meskipun tidak harus berarti merata.

4. Argumen yang Menentang Perlunya Keterlibatan Sosial Perusahaan
• Tujuan utama Bisnis adalah Mengejar Keuntungan Sebesar-besarnya.
Yang menjadi perhatian utama perusahaan adalah bagaimana mendatangkan keuntungan sebesar-besarnya seefisien mungkin. Fungsi bisnis adalah fungsi ekonomis, bukan fungsi sosial. Artinya, bisnis adalah kegiatan ekonomi dan bukan kegiatan sosial.
• Tujuan yang terbagi-bagi dan Harapan yang membingungkan.
Keterlibatan sosial sebagai wujud tanggung jawab sosial perusahaan akan menimbulkan minat dan perhatian yang beragam, yang pada akhirnya akan mengalihkan, bahkan mengacaukan perhatian para pimpinan perusahaan. Oleh karena itu, keterlibatan perusahaan dalam berbagai kegiatan sosial sangat kontraproduktif terhadap kegiatan bisnis perusahaan tersebut, dan karena itu, perlu ditolak.
• Biaya Keterlibatan Sosial.
Dalam lingkup makro, ini akan melemahkan atau mengganggu daya saing perusahaan tersebut dalam bisnis global karena harga yang ditawarkan perusahaan tersebut akan jauh lebih tinggi dari perusahaan lain yang tidak mengenakan biaya untuk kegiatan sosialnya.
• Kurangnya Tenaga Terampil di Bidang Kegiatan Sosial.
Keterlibatan perusahaan dalam berbagai kegiatan sosial adalah kegiatan yang lebih bernuansa moral, karitatif, dan sosial. Padahal, para professional bisnis tidak terampil dalam kegiatan semacam itu. Karena itu, tuntutan agar perusahaan pun ikut dalam berbagai kegiatan sosial demi kemajuan masyarakat sulit dipenuhi.

5. Argumen yang Mendukung Perlunya Keterlibatan Sosial Perusahaan

• Kebutuhan dan Harapan Masyarakat yang Semakin Berubah
Untuk bisa bertahan dan berhasil dalam persaingan bisnis modern yang ketat ini, para pelaku bisnis semakin menyadari bahwa mereka tidak bisa begitu saja hanya memusatkan perhatian pada upaya mendatangkan kentungan sebesar-besarnya. Mereka sadar bahwa untuk mendatangkan keuntungan tersebut, mereka harus peka dan tanggap terhadap kebutuhan dan harapan masyarakat yang semakin berubah itu.
• Terbatasnya Sumber Daya Alam
Keterlibatan dan kepedulian perusahaan, khususnya pada kelestarian sumber daya alam yang ada, akan mendorong penggunaan sumber daya alam yang terbatas itu secara efisien.
• Lingkungan Sosial yang Lebih Baik
Dengan membantu memperbaiki keadaan sosial dan ekonomi masyarakat sekitar, jurang kaya miskin akan sedikit diperkecil dan dengan demikian masyarakat sekitar akan lebih menerima kehadiran perusahaan tersebut.
• Perimbangan Tanggung Jawab dan Kekuasaan
Kekuasaan yang terlalu besar dari bisnis, jika tidak diimbangi dan dikontrol dengan tanggung jawab sosial, akan menyebabkan bisnis menjadi kekuatan yang merusak masyarakat. Kekuasaan Negara menjadi satu-satunya lembaga yang memiliki kekuasaan absolut. Karena itu, secara moral kekuasaan negara harus dibatasi dan dikendalikan, terutama melalui tanggung jawab moral dan sosial negara atas kehidupan seluruh warga mayarakat.
• Bisnis Mempunyai Sumber Daya yang Berguna
Tidak benar bahwa perusahaan hanya professional dalam mencari keuntungan ekonomis. Tetapi mereka juga professional dalam mengelola, mengorganisasi, dan menjalankan kegiatan-kegiatan tertentu yang bertujuan untuk memajukan masyarakat.
• Keuntungan Jangka Panjang
Bagi perusahaan, tanggung jawab sosial secara keseluruhan, termasuk keterlibatan perusahaan dalam berbagai kegiatan sosial, merupakan suatu nilai yang sangat positif bagi perkembangan dan kelangsungan perusahaan itu dalam jangka panjang.

6. Implementasi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan

• Prinsip utama dalam suatu organisasi profesional, termasuk perusahaan, adalah bahwa struktur mengikuti strategi. Artinya, struktur suatu organisasi didasarkan dan ditentukan oleh strategi dari organisasi atau perusahaan itu. Maka, pada tempat pertama harus dirumuskan terlebih dahulu strategi dari perusahaannya.
• Strategi yang diwujudkan melalui struktur organisasi demi mencapai tujuan dan misi perusahaan perlu dievaluasi secara periodik, salah satu bentuk evaluasi yang mencakup nilai-nilai dan tanggung jawab sosial perusahaan adalah Audit Sosial.


Sumber : Sonny Keraf, 1998, Etika Bisnis, Kanisius, Yogyakarta.

Kamis, 16 Desember 2010

ETIKA UTILITARIANISME DALAM BISNIS


Etika Utilitarianisme
Dikembangkan pertama kali oleh Jeremi Bentham (1748 -1832). Etika Utilitarianisme adalah tentang bagaimana menilai baik buruknya suatu kebijaksanaan sosial politik, ekonomi dan legal secara moral.

1. Kriteria dan Prinsip Etika Utilitarianisme
• Pertama, MANFAAT, yaitu bahwa kebijaksanaan atau tindakan itu mendatangkan manfaat atau kegunaan tertentu.
• Kedua, MANFAAT TERBESAR, kebijaksanaan atau tindakan itu mendatangkan manfaat besar dibandingkan dengan kebijaksanaan atau alternatif lainnya. Dapat dikatakan bahwa tindakan yang baik adalah tindakan yang menimbulkan kerugian terkecil.
• Ketiga, MANFAAT TERBESAR BAGI SEBANYAK MUNGKIN ORANG. Jadi, suatu kebijakan atau tindakan dinilai baik secara moral jika tidak hanya mendatangkan manfaat terbesar, melainkan apabila mendatangkan manfaat terbesar bagi banyak mungkin orang.
Bertindaklah sedemikian rupa sehingga tindakanmu itu mendatangkan keuntungan sebesar mungkin bagi sebanyak mungkin orang.

2. Nilai Positif Etika Utilitarianisme
• Pertama, Rasionalitas. Maksudnya, prinsip moral yang diajukan oleh etika utilitarianisme ini tidak didasarkan pada aturan-aturan kaku yang mungkin tidak kita pahami dan yang tidak bisa kita persoalkan keabsahannya. Justru sebaliknya, utilitarianisme member criteria yang objektif dan rasional mengapa suatu tindakan dianggap baik.
• Kedua, Utilitarianisme sangat menghargai kebebasan setiap pelaku moral. Tidak ada paksaan bahwa orang harus bertindak sesuai dengan cara tertentu yang mungkin tidak diketahui alasannya mengapa demikian. Jadi, tindakan baik itu diputuskan dan dipilih sendiri berdasarkan criteria yang rasional dan bukan sekedar mengikuti tradisi, norma atau perintah tertentu.
• Ketiga, Universalitas. Etika utilitarianisme mengutamakan manfaat atau akibat dari suatu tindakan bagi banyak orang. Suatu tindakan dinilai baik secara moral bukan karena tindakan itu mendatangkan manfaat terbesar bagi orang yang melakukan tindakan itu, melainkan karena tindakan itu mendatangkan manfaat terbesar bagi semua orang yang terkait, termasuk orang yang melakukan tindakan itu.

3. Utilitarianisme sebagai Proses dan sebagai Standar Penilaian
• Pertama, etika utilitarianisme digunakan sebagai proses untuk mengambil keputusan, kebijaksanaan atau untuk bertindak. Ia menjadi sebuah metode untuk bisa mengambil keputusan yang tepat tentang tindakan atau kebijaksanaan yang akan dilakukan. Dalam wujud pertama ini, etika utilitarianisme dipakai untuk perencanaan, untuk mengatur sasaran dan target yang hendak dicapai.
• Kedua, etika utilitarianisme sebagai standar penilaian bagi tindakan atau kebijaksanaan yang telah dilakukan. Kriteria ini untuk menilai apakah suatu tindakan atau kebijaksanaan yang telah dilakukan memang baik atau tidak.

4. Analisis Keuntungan dan Kerugian
Dalam Etika Utilitarianisme, manfaat dan kerugian selalu dikaitkan dengan semua orang yang terkait, sehingga analisis keuntungan dan kerugian tidak lagi semata-mata tertuju langsung pada keuntungan bagi perusahaan.

Analisis Keuntungan dan Kerugian dalam Kerangka Etika Bisnis
• Pertama, keuntungan dan kerugian, cost and benefits, yang dianalisis tidak dipusatkan pada keuntungan dan kerugian perusahaan. Jadi, dalam analisis ini perlu juga diperhatikan bagaimana dan sejauh mana suatu kebijaksanaan dan kegiatan bisnis suatu perusahaan membawa akibat yang menguntungkan dan merugikan bagi kreditor, konsumen, pemasok, penyalur, karyawan, masyarakat luas, dan sebagainya.
• Kedua, analisis keuntungan dan kerugian tidak ditempatkan dalam kerangka uang. Dalam analisis ini perlu juga mendapat perhatian serius, bahwa keuntungan dan kerugian disini tidak hanya menyangkut aspek financial, melainkan juga aspek-aspek moral: hak dan kepentingan konsumen, hak karyawan, kepuasan konsumen, dan sebagainya. Jadi, manfaat harus ditafsirkan secara luas dalam kerangka kesejateraan, kebahagiaan, keamanan sebanyak mungkin pihak terkait yang berkepentingan.
• Ketiga, analisis keuntungan dan kerugian untuk jangka panjang. Benefits yang menjadi sasaran utama semua perusahaan adalah long term net benefits.

Langkah konkret yang perlu diambil dalam membuat kebijaksanaan bisnis, berkaitan dengan Analisis keuntungan dan kerugian :
• Mengumpulkan dan mempertimbangkan alternatif kebijaksanaan dan kegiatan bisnis sebanyak-banyaknya.
• Seluruh alternatif pilihan dalam analisis keuntungan dan kerugian, dinilai berdasarkan keuntungan yang menyangkut aspek-aspek moral.
• Analisis Neraca keuntungan dan kerugian perlu dipertimbangkan dalam kerangka jangka panjang.

5. Kelemahan Etika Utilitarianisme

• Pertama, manfaat merupakan konsep yang begitu luas sehingga dalam kenyataan praktis akan menimbulkan kesulitan yang tidak sedikit. Karena, manfaat bagi manusia berbeda antara satu orang dengan orang yang lain.
• Kedua, etika utilitarianisme tidak pernah menganggap serius nilai suatu tindakan pada dirinya sendiri dan hanya memperhatikan nilai suatu tindakan sejauh berkaitan dengan akibatnya. Padahal, sangat mungkin terjadi suatu tindakan pada dasarnya tidak baik, tetapi ternyata mendatangkan keuntungan atau manfaat.
• Ketiga, etika utilitarianisme tidak pernah menganggap serius kemauan baik seseorang. Akibatnya, seseorang yang mempunyai motivasi yang baik dalam melakukan tindakan tertentu, tetapi ternyata membawa kerugian yang besar bagi banyak orang, tindakan itu tetap dinilai tidak baik dan tidak etis.
• Keempat, variabel yang dinilai tidak semuanya dapat dikuantifikasi. Karena itu, sulit sekali mengukur dan memperbandingkan keuntungan dan kerugian hanya berdasarkan variabel yang ada. Contohnya seperti polusi udara, hilangnya air bersih, kenyamanan, dan keselamatan kerja, kenyamanan produk, termasuk nyawa manusia, tidak bisa dikuantifikasi dan sulit untuk bisa dipakai dalam menilai baik buruknyasuatu tindakan berdasarkan manfaat-manfaat ini.
• Kelima, seandainya ketiga kriteria dari etika utilitarianisme saling bertentangan, maka akan ada kesulitan dalam menentukan proiritas di antara ketiganya.
• Keenam, etika utilitarisme membenarkan hak kelompok minoritas tertentu dikorbankan demi kepentingan mayoritas. Jadi, walaupun suatu tindakan merugikan bahkan melanggar hak dan kepentingan kelompok kecil tertentu, tapi menguntungkan sebagian besar orang yang terkait, tindakan itu tetap dinilai baik dan etis. Sebagai contoh, meskipun kegiatan bisnis sautu perusahaan merugikan hak penduduk setempat atas tanahnya, atau atas air bersih yang dikonsumsinya selama bertahun-tahun, tapi karena perusahaan itu mendatangkan devisa bagi negara, kegiatan bisnis perusahaan ini akan dinilai baik dan etis dari sudut pandang etika utilitarianisme.


Sumber : Sonny Keraf, 1998, Etika Bisnis, Kanisius, Yogyakarta.

BISNIS DAN ETIKA


1. Mitos Bisnis Amoral
Mitos bisnis amoral mengungkapkan suatu keyakinan bahwa antara bisnis dan moralitas atau etika tidak ada hubungan sama sekali. Bisnis tidak punya sangkut paut dengan etika dan moralitas. Bisnis dan etika adalah dua hal yang sangat berbeda dan tidak boleh dicampuradukkan. Etika justru bertentangan dengan bisnis dan akan membuat pelaku bisnis kalah dalam persaingan bisnis yang ketat. Orang bisnis tidak perlu memperhatikan imbauan-imbauan, norma-norma dan nilai moral.
Argumen :
• Bisnis adalah suatu persaingan, sehingga pelaku bisnis harus berusaha dengan segala cara dan upaya untuk bisa menang. Dengan kata lain. Bisnis sebagaimana permainan, cenderung menghalalkan segala cara demi memperoleh keuntungan. Sehingga mengabaikan etika dengan mudah. Itu berarti etika tidak punya tempat dan tidak relevan untuk kegiatan bisnis.
• Aturan yang dipakai dalam permainan penuh persaingan, berbeda dari aturan yang dikenal dalam kehidupan sosial sehingga tidak bisa dinilai dengan aturan moral dan sosial. Jadi, baik tidaknya bisnis dalam argument ini, bukan ditentukan oleh sejauh mana kegiatan bisnis dijalankan secara pantas atau tidak pantas menurut kaidah-kaidah moral, melainkan berdasarkan aturan dan kebiasaan yang dipraktekkan dalam dunia bisnis.
• Orang bisnis yang masih mau mematuhi aturan moral atau etika akan berada pada posisi yang tidak menguntungkan. Karena, orang yang masih mempertahankan etika dan moralitas akan kalah, merugi, dan tersingkir dengan sendirinya. Bisnis yang seperti ini bukanlah tempat yang cocok bagi orang seperti itu.

 Mitos bisnis amoral tidak sepenuhnya benar
 Beberapa perusahaan ternyata bisa berhasil karena memegang teguh kode etis dan komitmen moral tertentu. Contoh beberapa perusahaan tersebut yaitu IBM atau Johnson and Johnson.
 Bisnis adalah bagian aktivitas yang penting dari masyarakat, sehingga norma atau nilai yang dianggap baik dan berlaku di masyarakat ikut dibawa serta dalam kegiatan bisnis.
 Harus dibedakan antara legalitas dan moralitas. Suatu praktek atau kegiatan bisnis mungkin saja diterima secara legal karena ada dasar hukum, tetapi tidak diterima secara moral. Sebagai contoh yaitu praktek monopoli.
 Etika harus dibedakan dari ilmu empiris. Dalam ilmu empiris, suatu gejala atau fakta yang berulang terus dan terjadi dimana-mana menjadi alas an yang sah bagi kita untuk menarik sebuah teori atau hukum ilmiah yang sah dan berlaku universal. Etika tidak mendasarkan norma atau prinsipnya pada kenyataan faktual yang terus berulang. Menurut Hume: dari kenyataan yang ada (is) tidak bisa ditarik sebuah perintah normatif (ought). Contoh : sogok, suap,kolusi, monopoli,nepotisme.
 Berbagai aksi protes yang mengecam berbagai pelanggaran dalam kegiatan bisnis menunjukkan bahwa bisnis harus dijalankan secara baik dan tetap mengindahkan norma-norma moral. Contohnya dalam gerakan dan aksi protes lingkungan hidup, konsumen, buruh, hak wanita, dan semacamnya. Sebagai contoh lain, bahwa orang bisnis lebih suka menggunakan maskapai penerbangan yang lebih baik kualitasnya dalam segala aspek dan merasa jengkel dengan penerbangan yang tidak professional, hal ini telah menunjukkan betapa orang bisnis sendiri sangat menuntut bisnis yang etis. Ini berarti omong kosong apabila dikatakan bisnis tidak punya sangkut pautnya dengan etika.

2. Keutamaan Etika Bisnis

a) Dalam bisnis modern, para pelaku bisnis dituntut untuk menjadi orang-orang profesional di bidangnya . Perusahaan yang unggul bukan hanya memiliki kinerja dalam bisnis, manajerial dan finansial yang baik akan tetapi juga kinerja etis dan etos bisnis yang baik. Hanya perusahaan yang mampu melayani kepentingan semua pihak, mempertahankan mutu, memenuhi permintaan pasar (konsumen) dengan tingkat harga, mutu, dan waktu yang tepat, serta mampu menawarkan barang dan jasa sesuai dengan apa yang dianggapnya baik dan dapat diterima masyarakat itulah yang akan berhasil dan bertahan lama.
b) Dalam persaingan bisnis yang sangat ketat para pelaku bisnis pun menyadari bahwa konsumen benar-benar raja. Kepercayaan konsumen dijaga dengan memperlihatkan citra bisnis yang baik dan etis. Para pelaku bisnis sadar bahwa konsumen kini sangat kritis dan tidak mudah dibohongi. Oleh karena itu, kini benar-benar diperhitungkan oleh perusahaan-perusahaan yang memang ingin membangun sebuah kerajaan bisnis yang bertahan lama.
c) Dalam sistem pasar terbuka dengan peran pemerintah yang menjamin kepentingan dan hak bagi semua pihak, maka perusahaan harus menjalankan bisnisnya dengan baik dan etis, yaitu dengan menjalankan bisnis sedemikian rupa tanpa secara sengaja merugikan hak dan kepentingan semua pihak yang terkait dengan bisnisnya. Jadi kalau sampai terjadi bahwa pelaku bisnis menjalankan bisnisnya dengan merugikan pihak-pihak tertentu, maka pemerintah akan turun tangan mengambil tindakan tertentu untuk menertibkan praktek bisnis tersebut. Contoh tindakannya yaitu pencabutan izin usaha.
d) Perusahaan modern sangat menyadari bahwa karyawan bukanlah tenaga yang harus dieksploitasi demi mendapat keuntungan. Dalam bisnis yang penuh persaingan ketat, karyawan adalah orang-orang professional yang tidak mudah digantikan, karena mengganti seorang tenaga professional akan sangat merugikan baik dari segi financial, waktu, energy, irama kerja perusahaan, team-work, momentum, dan seterusnya. Maka yang paling ideal bagi perusahaan modern sekarang ini adalah bagaimana menjaga dan mempertahankan tenaga kerja yang professional.
Kenneth Blanchard dan Norman Vincent Peale: “perlakuan yang baik terhadap karyawan telah menaikkan keuntungan perusahaan sebesar 20% atau telah menurunkan harga produk perusahaan tersebut sebesar 20%. Maksudnya, perlakuan yang baik terhadap karyawan telah mencegah munculnya sikap-sikap tertentu pada karyawan yang dapat merugikan perusahaan. Dengan perlakuan yang baik, kerugian yang disebabkan oleh sikap atau perilaku buruk di pihak karyawan dapat dicegah, dengan demikian dapat menaikkan keuntungan bagi perusahaan atau sebaliknya menurunkan harga jual produk karena kurangnya biaya yang tidak perlu untuk menutup kerugian-kerugian yang tidak perlu.

3. Sasaran dan Lingkup Etika Bisnis
1) Etika bisnis bertujuan untuk menghimbau pelaku bisnis agar menjalankan bisnisnya secara baik dan etis. Himbauan itu didasarkan juga pada hakikat dan tujuan bisnis, yaitu untuk meraih keuntungan. Himabauan untuk berbisnis secara baik dan etis karena bisnis yang baik dan etis menunjang keberhasilan bisnisnya dalam jangka panjang.
2) Untuk menyadarkan masyarakat khususnya konsumen, buruh atau karyawan dan masyarakat luas akan hak dan kepentingan mereka yang tidak boleh dilanggar oleh praktek bisnis siapapun juga. Pada sasaran ini, etika bisnis berfungsi untuk menggugah masyarakat untuk bertindak menuntut para pelaku bisnis untuk berbisnis secara baik demi terjaminnya hak dan kepentingan masyarakat tersebut. Etika bisnis lalu bisa menjadi sangat subversif. Subversif karena ia menggugah, mendorong, dan membangkitkan kesadaran masyarakat untuk tidak dibodoh-bodohi, dirugikan, dan diperlukan secara tidak adil dan tidak etis oleh praktek bisnis manapun.
3) Etika bisnis juga berbicara mengenai sistem ekonomi yang sangat menentukan etis tidaknya suatu praktek bisnis. Dalam hal ini etika bisnis lebih bersifat makro, maka disebut etika ekonomi. Dalam lingkup makro ini, etika bisnis berbicara mengenai monopoli, oligopoly, kolusi, dan praktek-praktek semacamnya yang akan sangat mempengaruhi sehat tidaknya serta baik tidaknya praktek bisnis dalam sebuah negara.

4. Prinsip-prinsip Etika Bisnis

1) Prinsip otonomi
Otonomi adalah sikap dan kemampuan manusia untuk mengambil keputusan dan bertindak berdasarkan kesadaran sendiri tentang apa yang dianggapnya baik untuk dilakukan. Ia tahu mengenai bidang kegiatannya, situasi yang dihadapinya, apa yang diharapkan darinya, tuntutan dan aturan yang berlaku bagi bidang kegiatannya, sadar dan tahu akan keputusan dan tindakan yang akan diambilnya serta risiko atau akibat yang akan timbul baik bagi dirinya dan perusahaannya maupun bagi pihak lain. Orang yang otonom adalah orang yang bebas mengambil keputusan dan tindakan serta bertanggung jawab atas keputusan dan tindakannya tersebut.
2) Prinsip Kejujuran
• Kejujuran dalam pemenuhan syarat-syarat perjanjian dan kontrak.
Kejujuran sangat penting artinya bagi kepentingan masing-masing pihak dan sangat menentukan relasi dan kelangsungan bisnis masing-masing pihak selanjutnya. Karena, seandainya salah satu pihak berlaku curang dalam memenuhi syarat-syarat perjanjian tersebut, maka pihak yang merasa dicurangi tersebut tidak mungkin lagi mau menjalin relasi bisnis dengan pihak yang berlaku curang tadi.
• Kejujuran dalam penawaran barang dan jasa dengan mutu dan harga sebanding.
Kepercayaan konsumen adalah hal yang paling pokok. Oleh karena itu, sekali pengusaha menipu konsumen, entah melalui iklan, pelayanan yang tidak sebagaimana digembar-gemborkan, maka konsumen akan dengan mudah lari ke produk lain. Bahkan perusahaan yang sudah punya nama besar tidak bisa mengabaikannya begitu saja, dan karena itu selalu berusaha untuk menjaga konsumennya dengan tidak mau menipu mereka.
• Kejujuran dalam hubungan kerja intern dalam suatu perusahaan .
Kejujuran dalam perusahaan hanya mungkin terjaga kalau ada etos bisnis yang baik dalam perusahaan itu, ada standar moral yang jelas, karyawan diperlakukan secara baik dan manusiawi, karyawan diperlakukan sebagai manusia yang punya hak-hak tertentu, dan sudah terbina sikap saling menghargai sebagai manusia antara satu dan yang lainnya. Ini akan terungkap keluar dalam relasi dengan perusahaan lain atau relasi dengan konsumen.
3) Prinsip Keadilan
Prinsip keadilan menuntut agar setiap orang diperlakukan secara sama sesuai dengan aturan yang adil dan sesuai dengan kriteria yang rasional objektif dan dapat dipertanggung jawabkan.
4) Prinsip Saling Menguntungkan
Prinsip ini menuntut agar bisnis dijalankan sedemikian rupa sehingga menguntungkan semua pihak. Dalam bisnis yang kompetitif, prinsip ini menuntut agar persaingan bisnis haruslah melahirkan suatu win-win solution.
5) Prinsip Integritas Moral
Prinsip ini dihayati sebagai tuntutan internal dalam diri pelaku bisnis atau perusahaan agar dia menjalankan bisnis dengan tetap menjaga nama baiknya atau nama baik perusahaan.

5. Etos Bisnis

Etos bisnis adalah suatu kebiasaan atau budaya moral menyangkut kegiatan bisnis yang dianut dalam suatu perusahaan dari satu generasi ke generasi yang lain. Inti etos ini adalah pembudayaan atau pembiasaan penghayatan akan nilai, norma, atau prinsip moral tertentu yang dianggap sebagai inti kekuatan dari suatu perusahaan yang juga membedakannya dari perusahaan yang lain. Etos bisnis dibangun atas dasar visi atau filsafat bisnis pendiri perusahaan sebagai penghayatan tentang bisnis yang baik.

6. Relativitas Moral dalam Bisnis

Dalam bisnis global yang tidak mengenal batas negara, etika masyarakat mana yang harus diikuti? Tiga pandangan umum yang dianut :
a) Norma etis berbeda antara satu tempat dengan tempat yang lain.
‘’Kalau di Roma, bertindaklah sebagaimana dilakukan orang roma’’(kubu komunitarian). Artinya perusahaan harus mengikuti norma dan aturan moral yang berlaku di negara itu.
b) Norma sendirilah yang paling benar dan tepat.
“Bertindaklah di mana saja sesuai dengan prinsip yang dianut dan berlaku di negaramu sendiri”. Pandangan ini mewakili kubu moralisme universal, bahwa pada dasarnya norma dan nilai moral berlaku universal (prinsip yang dianut sendiri juga berlaku di negara lain).
c) Tidak ada norma moral yang perlu diikuti sama sekali.
(De George menyebutnya sebagai dengan”immoralis naif”).
Pandangan ini sama sekali tidak benar.
• Pendekatan stakeholder ialah cara mengamati dan menjelaskan secara analitis bagaimana berbagai unsur akan dipengaruhi dan juga mempengaruhi keputusan dan tindakan bisnis.
• Memetakan hubungan-hubungan yang terjalin.
• Pendekatan Stakeholder dalam kegiatan bisnis pada umumnya untuk memperlihatkan siapa saja yang mempunyai kepentingan, terkait, dan terlibat dalam bisnis itu.
• ”Bisnis harus dijalankan sedemikian rupa agar hak dan kepentingan semua pihak terkait yang berkepentingan (stakeholders) dengan suatu kegiatan bisnis harus bisa dijamin, diperhatikan dan dihargai” (disebut tujuan imperatif).
• Bermuara pada prinsip minimal : menuntut agar bisnis apapun perlu dijalankan secara baik dan etis demi menjamin kepentingan stakeholder.

7. Kelompok Stakeholders

Pendekatan stakeholder adalah cara mengamati dan menjelaskan secara analitis, bagaimana unsur dipengaruhi dan mempengaruhi keputusan dan tindakan bisnis. Dalam pendekatan stakeholder, pihak perusahaan harus memiliki hubungan yang saling mempengaruhi dengan berbagai pihak. Pihak-pihak yang berhubungan dengan perusahaan pada umumnya adalah: penyalur, rekan bisnis, konsumen, pemasok barang, pemegang saham, pekerja, media massa, pemerintah asing, pemerintah setempat, aktifis sosial, masyarakat setempat, dan kelompok pendukung lainnya. Sejumlah pihak tersebut, dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu sebagai berikut :
1. Kelompok primer. Pemilik modal atau saham, kreditor, karyawan, pemasok, konsumen, penyalur dan pesaing atau rekan bisnis. Perusahaan harus menjalin relasi bisnis yang baik dan etis dengan kelompok ini. Ilustrasinya adalah sebagai berikut: pemilik modal, sebagai salah satu pihak dalam kelompok primer, misalnya, adalah penentu terwujudnya sebuah perusahaan. Tanpa mereka, sebuah perusahaan terkadang tidak dapat terwujud dan berkembang menjadi besar, sebab saham adalah penyertaan atau pemilikan seseorang atau badan dalam suatu perusahaan atau perseroan terbatas. Wujud saham adalah selembar kertas yang menerangkan bahwa pemilik kertas tersebut adalah pemilik perusahaan yang menerbitkan surat berharga tersebut. Porsi kepemilikan ditentukan oleh seberapa besar penyertaan yang ditanamkan di perusahaan tersebut. Oleh karena itu, perusahaan harus dapat menjalin relasi yang baik dengan kelompok ini.
2. Kelompok sekunder. Pemerintah setempat, pemerintah asing, kelompok sosial, media massa, kelompok pendukung, masyarakat pada umumnya, dan masyarakat sekitar. Kelompok sekunderpun perlu diperlakukan dengan baik dan etis, agar sebuah perusahaan dapat berlangsung dan berkembang dengan baik dalam jangka panjang. Salah satu contohnya adalah aktivis sosial seperti LSM, di bidang lingkungan hidup dan sebagainya, bisa merepotkan bisnis atau perusahaan. Merekalah yang pertama kali vokal dalam mengkritik sebuah perusahaan yang mencemarkan lingkungan hidup atau lingkungan sosial. Demikian pula, pihak lain dalam kelompok sekunder seperti pemerintah lokal dan asing, massa media perlu diperhatikan dan dijalin kerja sama yang baik oleh sebuah perusahaan, karena keberadaan mereka pasti memiliki pengaruh terhadap sebuah perusahaan.


Sumber : Sonny Keraf, 1998, Etika Bisnis, Kanisius, Yogyakarta.

Rabu, 15 Desember 2010

BISNIS SEBUAH ETIKA

Bisnis : Sebuah Profesi Etis ?
Bisnis dapat menjadi sebuah profesi etis bila ditunjang oleh sistem politik ekonomi yang kondusif. Hanya dalam sebuah sistem politik ekonomi yang mengenal aturan yg jelas dan fair disertai kepastian keberlakuan aturan tersebut bisnis dapat berkembang secara optimal. Jadi, yang dibutuhkan untuk menegakkan bisnis sebagai sebuah profesi yang etis adalah prinsip-prinsip etis untuk berbisnis yang baik tetapi juga diperlukan kerangka legal-politis yang kondusif. Perangkat legal-politis ini terdiri dari aturan hukum yg mengatur kegiatan bisnis disertai dengan sebuah sistem pemerintahan yg adil dan efektif dalam menegakkan aturan bisnis yang fair. Tanpa itu, bisnis hanya akan menjadi sebuah profesi yang kotor, penuh intrik, penuh tipu daya, penuh jual beli kekuasaan ekonomi dan politik demi kepentingan segelintir orang dengan mengorbankan kepentingan, bahkan hak masyarakat luas.

1. Etika Terapan

Secara umum Etika dibagi menjadi :
a. Etika Umum, berbicara mengenai norma dan nilai moral, kondisi-kondisi dasar bagi manusia untuk bertindak secara etis, bagaimana manusia mengambil keputusan etis, teori-teori etika, lembaga-lembaga normatif dan semacamnya.
Etika umum sebagai ilmu dapat dianggap sebagai etika teoritis, walaupun istilah ini sesungguhnya tidak tepat karena bagaimanapun juga etika selalu berkaitan dengan perilaku dan kondisi praktis dari manusia dalam kehidupannya sehari-hari dan tidak hanya semata-mata bersifat teoritis.
b. Etika Khusus, adalah penerapan prinsip-prinsip atau norma-norma moral dasar dalam bidang kehidupan yg khusus. Di satu pihak etika khusus memberi aturan sebagai pegangan, pedoman, dan orientasi praktis bagi setiap orang dalam kehidupan dan kegiatan khusus tertentu yang dijalani dan dijalankannya. Namun di pihak lain, etika khusus sebagai refleksi kritis atas kehidupan dan kegiatan khusus tertentu mempersoalkan praktek, kebiasaan, dan perilaku tertentu dalam kehidupan dan kegiatan khusus tertentu.

Etika khusus dibagi menjadi tiga, yaitu :
1) Etika Individual, lebih menyangkut kewajiban dan sikap manusia terhadap dirinya sendiri. Salah satu prinsipnya yaitu prinsip integritas pribadi, yang berbicara mengenai perilaku individual tertentu dalam rangka menjaga nama baiknya sebagai pribadi moral.
2) Etika Sosial, berbicara mengenai kewajiban dan hak, sikap dan pola perilaku manusia sebagai makhluk sosial dalam interaksinya dengan sesamanya. Etika individual dan etika sosial, berkaitan erat satu sama lain. Karena kewajiban seseorang terhadap dirinya berkaitan langsung dan dalam banyak hal mempengaruhi pula kewajibannya terhadap orang lain, dan demikian pula sebaliknya.
3) Etika Lingkungan Hidup, berbicara mengenai hubungan antara manusia baik sebagai individu maupun sebagai kelompok dengan lingkungan alam yang lebih luas dalam totalitasnya, dan juga hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya yang berdampak langsung atau tidak langsung pada lingkungan hidup secara keseluruhan.
Etika Lingkungan dapat berupa :
• Cabang dari etika sosial, sejauh menyangkut hubungan antara manusia dengan manusia yang berdampak pada lingkungan),
• Berdiri sendiri, sejauh menyangkut hubungan antara manusia dengan lingkungannya .
Oleh karena itu, etika lingkungan hidup dapat pula dibicarakan dalam rangka etika bisnis, karena pola interaksi bisnis sangat mempengaruhi lingkungan hidup.

2. Etika Profesi

a. Pengertian Profesi
Profesi dapat dirumuskan sebagai pekerjaan yang dilakukan sebagai nafkah hidup dg mengandalkan keahlian dan keterampilan yang tinggi dan dengan melibatkan komitmen pribadi (moral) yang mendalam.
Orang Profesional adalah orang yang melakukan suatu pekerjaan purna waktu dan hidup dari pekerjaan itu dengan mengandalkan keahlian dan ketrampilan yang tinggi serta punya komitmen pribadi yang mendalam atas pekerjaannya itu.
Orang yang profesional adalah orang yang melakukan suatu pekerjaan karena ahli di bidang tersebut dan meluangkan seluruh waktu, tenaga, dan perhatiannya untuk pekerjan tersebut.
Profesi khusus yang disebut sebagai profesi luhur. Disebut profesi luhur karena menekankan pengabdian kepada masyarakat pada umumnya melebihi hal-hal lainnya. Contoh klasik dari profesi luhur adalah dokter, pengacara, hakim dan jaksa, rohaniwan, tentara dan sebagainya.
Dalam kaitan dengan profesi pada umumnya, lama kelamaan hubungan antara pengabdian kepada masyarakat dan nafkkah hidup berkembang menjadi saling mengisi dan mengkondisikan. Di satu pihak, para professional ingin mengabdikan seluruh hidupnya demi kepentingan banyak orang. Namun di pihak lain semakin ia profesional dalam menjalankan profesinya itu, semakin banyak pula ia memperoleh imbalan atas profesinya itu karena konsekuensi logis dari profesionalismenya.


b. Ciri-ciri Profesi

1) Adanya keahlian dan keterampilan khusus.
Keahlian dan keterampilan khusus ini umumnya dimiliki dengan kadar, lingkup, dan tingkat yang melebihi keahlian dan keterampilan orang kebanyakan lainnya. Ini berarti kaum profesional itu lebih ahli dan terampil dalam bidang profesinya daripada orang-orang lain. Dengan pengetahuan dan keterampilan ini memungkinkan orang professional itu menjalankan tugasnya dengan tingkat keberhasilan dan mutu yang paling baik.
2) Adanya komitmen moral yg tinggi.
Komitmen moral ini biasanya dituangkan, khususnya untuk profesi yang luhur dalam bentuk aturan khusus yang menjadi pegangan bagi setiap orang yang mengemban profesi yang bersangkutan. Aturan main dalam menjalankan atau mengemban profesi tersebut biasanya disebut Kode Etik. Ada 2 sasaran pokok dari kode etik, yaitu :
• kode etik bermaksud melindungi masyarakat dari kemungkinan dirugikan oleh kelalaian entah secara sengaja atau tidak sengaja dari kaum profesional. Kode etik menjamin bahwa masyarakat yang telah mempercayakan diri, hidup, barang milik, atau perkaranya kepada orang yang professional itu tidak akan dirugikan oleh orang yang profesional itu.
• kode etik bertujuan melindungi keluhuran profesi tersebut dari perilaku-perilaku bobrok orang-orang tertentu yg mengaku diri professional. Dengan kode etik ini setiap orang punya profesi tersebut bisa dipantau sejauh mana ia masih seorang professional dibidangnya, tidak hanya sehubungan dengan keahlian melainkan juga dengan komitmen moralnya.
3) Biasanya orang yg profesional adalah orang yg hidup dari profesinya.
• Ini berarti ia hidup sepenuhnya dari profesi ini. biasanya ia dibayar dengan gaji yang sangat tinggi sebagai konsekuensi dari pengerahan seluruh tenaga, pikiran keahlian, keterampilan.
• Ini berarti profesinya telah membentuk identitas orang tersebut. Ia tdk bisa lagi dipisahkan dari profesi itu, berarti ia menjadi dirinya berkat dan melalui profesinya. Konsekuensinya, orang yang professional bangga dan bahagia dengan profesinya terlepas dari status sosial profesinya.
4) Pengabdian kepada masyarakat
Adanya komitmen moral yg tertuang dalam kode etik profesi ataupun sumpah jabatan menyiratkan bahwa orang-orang yg mengemban profesi tertentu, khususnya profesi luhur, lebih mendahulukan dan mengutamakan kepentingan masyarakat daripada kepentingan pribadinya. Ini akan berkembang menjadi sikap hidup professional, yang akan melayani, mengabdi, dan membantu masyarakat dengan keahlian dan keterampilannya sampai tuntas, yaitu sampai ada hasil yang memuaskan, baik bagi orang yang dilayani maupun bagi orang profesional itu sendiri.
5) Pada profesi luhur biasanya ada izin khusus untuk menjalankan profesi tersebut.
• Keberadaan izin khusus, karena menyangkut kepentingan orang banyak, dan terkait dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan berupa keselamatan, keamanan, kelangsungan hidup, kesehatan dan sebagainya.
• Izin khusus bertujuan untuk melindungi masyarakat dari pelaksanaan profesi yg tdk becus. Contohnya, seorang dokter yang salah melakukan perawatan dapat mengakibatkan pasiennya akan cacat seumur hidup atau bahkan meninggal. Dengan kata lain, izin merupakan bentuk perlindungan awal atas kepentingan masyarakat
• Izin juga sesungguhnya merupakan tanda bahwa orang tersebut mempunyai keahlian, ketrampilan, dan komitmen moral yang diandalkan dan dapat dipercaya. Sehingga masyarakat tidak perlu ragu dan dapat menyerahkan seluruh persoalan yang dihadapinya pada kaum professional di bidangnya.
• Wujud dari izin, bisa berbentuk surat izin, sumpah, kaul, atau pengukuhan resmi di depan umum. Yang berhak memberi izin adalah negara sebagai penjamin tertinggi kepentingan masyarakat.
6) Kaum profesional biasanya menjadi anggota dari suatu organisasi profesi.
Contoh : IDI untuk profesi dokter, IAI untuk akuntan, Ikadin untuk advokat, dan sebagainya. Tujuan organisasi profesi ini terutama adalah untuk menjaga dan melindungi keluhuran profesi tersebut. Tugas Pokoknya adalah menjaga agar standar keahlian dan keterampilan tidak dilanggar, kode etik tidak dilanggar, dan berarti menjaga agar kepentingan masyarakat tidak dirugikan oleh pelaksanaan profesi tersebut oleh anggota manapun.
Dalam konteks ini, organisasi tersebut yang akan mengeluarkan izin praktek bagi anggota baru serta menindak anggota yang me;anggar baik kode etik profesinya maupun standar keahlian dan keterampilan yang dituntut secara minimal oleh profesi tersebut.

c. Prinsip-prinsip Etika Profesi
, yaitu sebagai berikut :
1) Prinsip Tanggung Jawab
• Bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pekerjaannya dan terhadap hasilnya. Maksudnya, orang yang profesional tidak hanya diharapkan melainkan juga dari dalam dirinya sendiri menuntut dirinya untuk bekerja sebaik mungkin dengan standar diatas rata-rata, dengan hasil yang maksimum, dan dengan mutu yang terbaik. Dengan kata lain, ia sendiri dapat mempertanggung jawabkan tugas pekerjaannya itu berdasarkan tuntutan profesionalitasnya baik terhadap orang lain yang terkait langsung dengan profesinya maupun juga terhadap dirinya sendiri.
• Bertanggung jawab atas dampak profesinya itu terhadap kehidupan dan kepentingan orang lain, khusunya kepentingan orang-orang yang dilayaninya. Pada tingkat dimana profesi itu membawa kerugian tertentu secara disengaja atau tidak disengaja, ia harus bertanggung jawab atas hal tersebut. Bentuknya bisa macam-macam, seperti mengganti kerugian, pengakuan jujur dan tulus secara moral sebagai telah melakukan kesalahan, mundur dari jabatannya, dan sebagainya.

2) Prinsip Keadilan
Prinsip ini terutama menuntut orang yang profesional agar dalam menjalankan profesinya ia tidak merugikan hak dan kepentingan pihak tertentu, khusunya orang-orang yang dilayaninya dalam rangka profesinya. Prinsip ini juga menuntut agar dalam menjalankan profesinya orang yang professional tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap siapapun, termasuk orang yang mungkin tidak membayar jasa profesionalnya. Prinsip ‘siapa yang datang pertama mendapat pelayanan pertama’ merupakan perwujudan sangat konkret prinsip keadilan dalam arti yang seluas-luasnya. Jadi, orang yang professional tidak boleh membeda-bedakan pelayanannya dan juga kadar dan mutu pelayanannya itu. Jangan sampai terjadi bahwa mutu dan intensitas pelayanan professional dikurangi kepada orang yang miskin hanya karena orang miskin itu tidak membayar secara memadai.

3) Prinsip Otonomi
Prinsip yang dituntut oleh kalangan professional terhadap dunia luar agar mereka diberi kebebasan sepenuhnya dalam menjalankan profesinya. Sebenarnya ini merupakan konsekuensi dari hakikat profesi itu sendiri. Karena, hanya kaum professional ahli dan terampil dalam bidang profesinya, tidak boleh ada pihak luar yang ikut campur tangan dalam pelaksanaan profesi tersebut. Ini terutama ditujukan kepada pihak pemerintah. Yaitu, bahwa pemerintah harus menghargai otonomi profesi yang bersangkutan dan arena itu tidak boleh mencampuri urusan pelaksanaan profesi tersebut.
Batas-batas prinsip otonomi :
• Prinsip otonomi dibatasi oleh tanggung jawab dan komitmen profesional (keahlian dan moral) atas kemajuan profesi tersebut serta (dampaknya pada) kepentingan masyarakat. Jadi, otonomi ini hanya berlaku sejauh disertai dengan tanggung jawab professional. Secara khusus, dibatasi oleh tanggung jawab bahwa orang yang profesional itu, dalam menjalankan profesinya secara otonom, tidak sampai akan merugikan hak dan kepentingan pihak lain.
• Kendati pemerintah di tempat pertama menghargai otonomi kaum profesional, pemerintah tetap menjaga, dan pada waktunya malah ikut campur tangan, agar pelaksanaan profesi tertentu tidak sampai merugikan kepentingan umum. Jadi, otonomi itu hanya berlaku sejauh pelaksanaan profesi tidak sampai merugikan kepentingan bersama. Dengan kata lain, kaum professional memang otonom dan bebas dalam menjalankan tugas profesinya asalkan tidak merugikan hak dan kepentingan pihak tertentu, termasuk kepentingan umum. Sebaliknya, kalau hak dan kepentingan pihak tertentu dilanggar, maka otonomi profesi tidak berlaku dank arena itu pemerintah wajib ikut campur tangan dengan menindak pihak yang merugikan pihak lain tadi.

4) Prinsip Integritas Moral
Prinsip ini merupakan tuntutan kaum profesional atas dirinya sendiri bahwa dalam menjalankan tugas profesinya ia tidak akan sampai merusak nama baiknya serta citra dan martabat profesinya. Maka, ia sendiri akan menuntut dirinya sendiri untuk bertanggung jawab atas profesinya serta tidak melecehkan nilai yang dijunjung tinggi dan diperjuangkan profesinya. Oleh karena itu, pertama, ia tidak akan mudah kalah dan menyerah pada godaan atau bujukan apapun untuk lari atau melakukan tindakan yang melanggar nilai yang dijunjung tinggi profesinya. Kedua, ia malah sebaliknya malu kalau tidak bertindaj sesuai dengan nilai-nilai moral, khususnya nilai yang melekat pada dan diperjuangkan profesinya.

3. Menuju Bisnis Sebagai Profesi Luhur

Sesungguhnya bisnis bukanlah merupakan profesi, kalau bisnis dianggap sebagai pekerjaan kotor, kendati kata profesi, profesional dan profesionalisme sering begitu diobral dalam kaitan dengan kegiatan bisnis. Namun dipihak lain tidak dapat disangkal bahwa ada banyak orang bisnis dan juga perusahaan yang sangat menghayati pekerjaan dan kegiatan bisnisnya sebagai sebuah profesi. Mereka tidak hanya mempunyai keahlian dan ketrampilan yang tinggi tapi punya komitmen moral yang mendalam. Karena itu, bukan tidak mungkin bahwa bisnis pun dapat menjadi sebuah profesi dalam pengertian sebenar-benarnya bahkan menjadi sebuah profesi luhur.
a. Pandangan Praktis-Realistis
Pandangan ini bertumpu pada kenyataan yang diamati berlaku dalam dunia bisnis dewasa ini. Pandangan ini didasarkan pada apa yang umumnya dilakukan oleh orang-orang bisnis. Pandangan ini melihat bisnis sebagai suatu kegiatan di antara manusia yang menyangkut memproduksi, menjual, dan membeli barang dan jasa untuk memperoleh keuntungan. Pandangan ini ditegaskan secara jelas bahwa tujuan utama bisnis, bahkan tujuan satu-satunya adalh mencari keuntungan.
Bisnis adalah suatu kegiatan Profit Making. Dasar pemikirannya adalah bahwa orang yg terjun ke dalam bisnis tidak punya keinginan dan tujuan lain selain ingin mencari keuntungan. Kegiatan bisnis adalah kegiatan ekonomis dan bukan kegiatan sosial. Karena itu, keuntungan itu sah untuk menunjang kegiatan bisnis. Tanpa keuntungan bisnis tidak bisa jalan.
Asumsi Adam Smith bahwa, pertama, dalam masyarakat modern telah terjadi pembagian kerja di mana setiap orang tidak bisa lagi mengerjakan segala sesuatu sekaligus dan bisa memenuhi semua kebutuhan hidupnya sendiri. Manusia modern harus memenuhi kebutuhan hidupnya dengan menukarkan barang produksi milik orang lain. Kedua, semua orang tanpa terkecuali mempunyai kecenderungan dasar untuk membuat kondisi hidupnya menjadi lebih baik. Dalam keadaan sosial dimana telah terjadi kelas-kelas sosial, jalan terbaik untuk tetap mempertahankan kegiatan ekonomi adalah dengan merangsang pemilik modal untuk tetap menanamkan modalnya dalam kegiatan produktif yang sangat berguna bagi ekonomi sosial dan dunia, termasuk bagi kelas pekerja.

b. Pandangan Ideal

• Disebut pandangan ideal, karena dalam kenyataannya masih merupakan suatu hal yg ideal mengenai dunia bisnis. Sebagai pandangan yang ideal pandangan ini baru dianut oleh segelintir orang yang dipengaruhi oleh idealisme tertentu berdasarkan nilai tertentu yang dianutnya.
• Menurut pandangan ini, bisnis tidak lain adalah suatu kegiatan diantara manusia yang menyangkut memproduksi, menjual, dan membeli barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Pandangan ini tidak menolak bahwa keuntungan adalah tujuan utama bisnis. Tanpa keuntungan bisnis tidak bisa bertahan. Namun keuntungan hanya dilihat sebagai konsekuensi logis dari kegiatan bisnis. Yaitu, bahwa dengan memenuhi kebutuhan masyarakat secara baik, keuntungan akan datang dengan sendirinya. Masyarakat akan merasa terikat membeli barang dan jasa yang ditawarkan oleh perusahaan yang memenuhi kebutuhan mereka dengan mutu dan harga yang baik itu.
• Dasar pemikirannya adalah pertukaran timbal balik secara fair di antara pihak-pihak yang terlibat. Maka, yang mau ditegakkan dalam bisnis yang menganut pandangan ini adalah keadilan komutatif, khususnya keadilan tukar atau pertukaran dagang yang fair.
• Menurut Adam Smith, pertukaran dagang terjadi karena satu orang memproduksi lebih banyak barang tertentu sementara ia sendiri membutuhkan barang lain yang tidak bisa dibuatnya sendiri. Jadi, sesungguhnya kegiatan bisnis terjadi karena keinginan untuk saling memenuhi kebutuhan hidup masing-masing. Dengan kata lain, tujuan utama bisnis sesungguhnya bukan untuk mencari keuntungan melainkan untuk memenuhi kebutuhan hidup orang lain, dan melalui itu (dan menurut Adam Smith, hanya melalui itu) ia bisa memperoleh apa yang dibutuhkannya.
• Menurut Matsushita (pendiri perusahan Matsushita Inc di Jepang), tujuan bisnis sebenarnya bukanlah mencari keuntungan melainkan untuk melayani kebutuhan masyarakat. Sedangkan keuntungan tidak lain hanyalah simbol kepercayaan masyarakat atas kegiatan bisnis suatu perusahaan. Artinya, karena masyarakat merasa kebutuhan hidupnya dipenuhi secara baik mereka akan menyukai produk perusahaan tersebut yang memang dibutuhkannya tapi sekaligus juga puas dengan produk tersebut. Maka, mereka akan tetap membeli produk tersebut. Dari situlah keuntungan mengalir. Dengan pandangan bisnis seperti ini, menurut Matsushita, bisnis yang baik selalu mempunyai misi tertentu yang luhur dan tidak sekedar mencari keuntungan, sebagaimana terungkap dalam judul bukunya, Not For Bread Alone. Pandangan Matsushita sebenarnya dalam arti tertentu tidak sangat idealistis, karena lahir dari sebuah visi bisnis yang kemudian diperkuat dan didukung oleh pengalamannya dalam mengelola bisnisnya. Ternyata perusahaan dan bisnisnya berhasil dan tahan lama, tanpa perlu harus menggunakan segala cara demi mencapai keuntungan.
• Dengan melihat kedua pandangan berbeda di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa citra jelek dunia bisnis sedikit banyaknya disebabkan oleh pandangan pertama yang melihat bisnis sekadar sebagai mencari keuntungan.
• Atas dasar ini, persoalan yang dihadapi di sini adalah bagaimana mengusahakan agar keuntungan yang diperoleh ini memang wajar, halal, dan fair. Terlepas dari pandangan mana yang dianut, keuntungan tetap menjadi hal pokok bagi bisnis. Masalahnya adalah apakah mengejar keuntungan lalu berarti mengabaikan etika dan moralitas? Yang penting adalah bagaimana keuntungan ini sendiri tercapai.
• Salah satu upaya untuk membangun bisnis sebagai profesi yang luhur adalah dengan membentuk, mendukung dan memperkuat organisasi profesi. Melalui organisasi profesi tersebut bisnis bisa dikembangkan sebagai sebuah profesi dalam pengertian sebenar-benarnya sebagaimana dibahas disini, kalau bukan menjadi profesi luhur.


Sumber : Sonny Keraf, 1998, Etika Bisnis, Kanisius, Yogyakarta.

Sabtu, 11 Desember 2010

TEORI-TEORI ETIKA BISNIS

1. Pengertian Etika
Istilah etika berasal dari bahasa Yunani kuno. Bentuk tunggalnya yaitu ethos (kebiasaan/adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, cara berpikir) sedangkan bentuk jamaknya yaitu ta etha (adat kebiasaan).
Etika merupakan ilmu yang membahas perbuatan baik dan perbuatan buruk manusia sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia. Tujuan mempelajari etika, untuk mendapatkan konsep yang sama mengenai penilaian baik dan buruk bagi semua manusia dalam ruang dan waktu tertentu.
K. Bertens berpendapat bahwa arti kata ‘etika’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai berikut :
a. Nilai dan norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
Misalnya, jika orang berbicara tentang etika orang Jawa, etika agama Budha, etika Protestan dan sebagainya, maka yang dimaksudkan etika di sini bukan etika sebagai ilmu melainkan etika sebagai sistem nilai. Sistem nilai ini bisaberfungsi dalam hidup manusia perorangan maupun pada taraf sosial.
b. Kumpulan asas atau nilai moral.
Yang dimaksud di sini adalah kode etik. Contoh : Kode Etik Jurnalistik
c. Ilmu tentang yang baik atau buruk.
Etika baru menjadi ilmu bila kemungkinan-kemungkinan etis (asas-asas dan nilai-nilai tentang yang dianggap baik dan buruk) yang begitu saja diterima dalam suatu masyarakat dan sering kali tanpa disadari menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan metodis. Etika di sini sama artinya dengan filsafat moral.

Pengertian Etika = moral
Istilah Moral berasal dari bahasa Latin. Bentuk tunggalnya yaitu mos sedangkan bentuk jamaknya yaitu mores yang masing-masing mempunyai arti yang sama yaitu kebiasaan, adat.
Secara etimologis, kata ’etika’ sama dengan kata ‘moral’ karena kedua kata tersebut sama-sama mempunyai arti yaitu kebiasaan,adat. Dengan kata lain, kalau arti kata ’moral’ sama dengan kata ‘etika’, maka rumusan arti kata ‘moral’ adalah nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Sedangkan yang membedakan hanya bahasa asalnya saja yaitu ‘etika’ dari bahasa Yunani dan ‘moral’ dari bahasa Latin. Jadi bila kita mengatakan bahwa perbuatan pengedar narkotika itu tidak bermoral, maka kita menganggap perbuatan orang itu melanggar nilai-nilai dan norma-norma etis yang berlaku dalam masyarakat. Atau bila kita mengatakan bahwa pemerkosa itu bermoral bejat, artinya orang tersebut berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma yang tidak baik.
‘Moralitas’ berasal dari kata sifat Latin morali mempunyai arti yang pada dasarnya sama dengan ‘moral’, hanya ada nada lebih abstrak. Berbicara tentang “moralitas suatu perbuatan”, artinya segi moral suatu perbuatan atau baik buruknya perbuatan tersebut. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk.

2. Tiga Norma Umum
Norma berasal dari kata latin “Norma” yang artinya alat tukang kayu untuk mengukur sudut. Norma adalah “Ukuran Tindakan”, terbagi menjadi dua yaitu yang pertama norma khusus yang berlaku dalam situasi tertentu, dan kedua norma umum yang berlaku dalam segala situasi. Ada tiga norma umum, yaitu :
a. Etiket = aturan tindakan untuk sopan santun, misalnya pada saat bertamu, berpakaian, makan dan minum, dan sebagainya.
b. Hukum = aturan tindakan untuk ketertiban umum
c. Moral = aturan tindakan untuk kebaikan manusia

3. Teori Etika
a. Etika Teleologi
Teleologis dalam bahasa Yunani artinya “tujuan”. Etika teleologi mengukur baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dengan tindakan itu, atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu.
Menurut Kant, Etika teleologi lebih bersifat situasional, karena tujuan dan akibat suatu tindakan bisa sangat tergantung pada situasi khusus tertentu.
Berdasarkan pembahasan Eika Teleologis, muncul aliran-aliran Teleologis, yaitu :
1. Egoisme
Pandangan bahwa tindakan setiap orang bertujuan untuk mengejar kepentingan atau memajukan dirinya sendiri. Egoism bisa menjadi persoalan serius ketika secara signifikan berhubungan dengan hedonism, yaitu ketika kebahagiaan dan kepentingan pribadi semata-mata hanya kenikmatan fisik yang bersifat vulgar, artinya yang baik secara moral disamakan begitu saja dengan kesenangan dan kenikmatan.
2. Utilitarianisme
Adalah penilaian suatu perbuatan berdasarkan baik dan buruknya tindakan atau kegiatan yang bertumpukkan kepada tujuan atau akibat dari tindakan itu sendiri bagi kepentingan orang banyak. Jadi, etika ini tidak mengukur baik buruknya suatu tindakan berdasarkan kepentingan pribadi atau berdasakan akibat baiknya demi diri sendiri dan kelompok sendiri.

b. Deontologi
Istilah “deontologi” berasal dari kata Yunani deon, yang artinya kewajiban. Etika Deontologi menekankan kewajiban manusia untuk bertindak secara baik. Menurut para ahli Deontologi, tindakan yang baik bukan dinilai dan dibenarkan berdasarkan akibat atau tujuan baik dari tindakan itu, melainkan berdasarkan tindakan itu sendiri adalah baik untuk dirinya sendiri. Melakukan perbuatan baik adalah suatu keharusan, orang sering menyebutnya sebagai suatu kewajiban. Keyakinan untuk melakukan yang baik dan dilakukan dengan sendirinya demi hubungan baik dan buruk dapat mengelakkan perilaku buruk.
Atas dasar tersebut, Etika Deontologi sangat menekankan motivasi, kemauan baik dan watak yang kuat dari pelakunya. Sebagaimana diungkapkan seorang pakar etika bernama Immanuel Kant, kemauan baik harus dinilai baik pada dirinya sendiri terlepas dari apapun juga. Oleh karena itu, di dalam menilai seluruh tindakan kita, kemauan baik harus selalu dinilai paling pertama dan menjadi kondisi dari segalanya.

c. Teori Hak
Sebenarnya teori hak merupakan suatu aspek dari teori deontology, karena hak berkaitan dengan kewajiban. Malah bisa dikatakan hak dan kewajiban bagaikan dua sisi koin yang sama. Kewajiban satu orang biasanya dibarengi dengan hak dari orang lain.

d. Teori Keutamaan (Virtue)
Teori ini adalah teori yang memandang sikap atau akhlak seseorang. Tidak ditanyakan apakah suatu perbuatan tertentu adil, atau jujur, atau murah hati, melainkan: apakah orang itu bersikap adil, jujur, murah hati, dan sebagainya. Artinya bahwa Etika keutamaan tidak mempersoalkan akibat suatu tindakan dan tidak mengacu pada norma-norma dan nilai-nilai universal untuk menilai moral seseorang. Etika keutamaan lebih memfokuskan pada pengembangan watak moral pada diri setiap orang.
Professor K.Bertens (2000) mendefinisikan keutamaan sebagai suatu disposisi watak yang telah diperoleh seseorang dan memungkinkan dia untuk bertingkah laku baik secara moral. Definisi tersebut dapat diuraikan sebagai suatu pandangan seseorang terhadap suatu tindakan atau perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat.
Definisi lain mengatakan bahwa keutamaan adalah merupakan aktivitas jiwa (Riyanto, Armada.2007. Course on Fundamental Ethics for Business). Oleh karena itu, pembagian keutamaan bersesuaian dengan bagian-bagian dari jiwa, yaitu keutamaan pikiran dan keutamaan karakter. Kedua keutamaan tersebut mewajibkan setiap pebisnis untuk terus menggunakan pikiran mereka sebagai suatu kekuatan untuk bisa secara terus-menerus mengerakkan bisnis mereka ke arah yang lebih baik dan kekuatan berpikir tersebut akan menjadi karakter yang kuat dari setiap pebisnis dalam langkah menuju kesuksesan.

Ada beberapa hal dalam keutamaan, yaitu :
1. Kebijaksanaan yaitu suatu keutamaan yang membuat seseorang mengambil keputusan secara tepat dalam setiap situasi.
2. Keadilan merupakan keutamaan lain yang membuat seseorang selalu memberikan kepada sesama apa yang menjadi haknya.
3. Kerendahan hati adalah keutamaan yang membuat seseorang tidak menonjolkan diri, sekalipun situasi mengijinkannya.
4. Suka berkerja keras adalah keutamaan yang membuat seseorang mengatasi kecenderungan spontan untuk bermalas-malasan.

Di antara ke empat keutamaan itu yang harus dimiliki oleh pebisnis perorangan bisa disebut seperti kejujuran, fairness, kepercayaan, dan keuletan. Kejujuran secara umum diakui sebagai keutamaan pertama dan paling penting yang harus dimiliki pelaku bisnis. Fairness adalah kesediaan untuk memberikan apa yang wajar kepada semua orang dan dengan “wajar” dimaksudkan apa yang bisa disetujui oleh semua pihak yang terlibat dalam suatu transaksi. Kepercayaan (trust) adalah keutamaan yang penting dalam konteks bisnis. Keuletan dapat diartikan sebagai kemampuan yang harus dimiliki oleh pebisnis hdalam menghadapi segala situasi yang sulit.

Kelompok keutamaan lain menandai orang bisnis pada taraf perusahaan dengan kata lain, keutamaan-keutamaan ini dimiliki manajer dan karyawan sejauh mereka mewakili perusahaan. Keutamaan-keutamaan yang berhubungan dengan manajer dan karyawan adalah sebagai berikut :
1. Keramahan. Keramahan bukan merupakan taktik saja untuk memikat para pelanggan, tapi menyangkut inti kehidupan bisnis itu sendiri.
2. Loyalitas, berarti bahwa karyawan tidak bekerja semata-mata hanya untuk mendapat gaji, tetapi juga mempunyai komitmen yang tulus dengan perusahaan.
3. Kehormatan. Kehormatan adalah keutamaan yang membuat karyawan menjadi peka terhadap suka dan duka serta sukses dan kegagalan perusahaan.
4. Rasa malu. Rasa malu membuat karyawan solider dengan kesalahan perusahaan.


sumber : www.google.com

Template by:

Free Blog Templates